Selepas perjanjian Linggarjati ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947, terjadi perbedaan yang mendasar antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda terutama menyangkut permasalahan politik luar negeri dan aset-aset perekonomian Belanda.
Perdana Menteri Sjahrir mengintepretasikan bahwa Indonesia berhak menjalankan politik luar negerinya secara mandiri sedangkan pihak Belanda tidak membenarkannya. Dan masalah pengambil-alihan perkebunan-perkebunan Belanda di Jawa dan Sumatera yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak Indonesia untuk kegiatan perekonomian, terutama pada kegiatan ekspor dan impor, merupakan suatu hal yang wajar karena di tanah Indonesia merdekalah perkebunan-perkebunan tersebut tumbuh.
Namun secara umum Sjahrir menerima isi dari perjanjian Linggarjati tersebut yang menyebabkan di kemudian hari Partai Sosialis menarik dukungannya kepada Sjahrir. Tanpa dukungan Partai Sosialis, ia kemudian mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno.
Karena tidak mencapai titik temu, pada tanggal 27 Mei 1947 Belanda mengajukan nota yang bersifat ultimatif (nota ini sengaja dibuat agar pihak Indonesia tidak dapat menerima usulan Belanda). Pada intinya untuk membentuk pemerintahan dan pasukan bersama atau “gendarmarie”. Baik Sjahrir maupun penggantinya yaitu Amir Sjarifudin menolak rencana Belanda tersebut.
Tanggal 15 Juli 1947, Belanda kembali mengirimkan nota serupa dan pihak Indonesia harus menjawabnya dalam waktu 32 jam. Dua hari kemudian pada tanggal 17 Juli 1947, Perdana Menteri Amir Sjarifudin menjawab nota Belanda melalui Radio Republik Indonesia (RRI). Tetapi van Mook menyatakan bahwa jawaban Pemerintah Republik Indonesia tidak memuaskan. Maka pada tanggal 20 Juli 1947, Pemerintah Belanda memberi kuasa kepada van Mook untuk mengambil tindakan “seperlunya” terhadap Republik Indonesia.
Dengan kekuatan sekitar 125.000 orang, Belanda menyerbu ke wilayah Indonesia. Pasukan mereka terdiri dari 110.000 KL (Koninklijke Leger), 12.000 KM (Koninklijke Marinier) dan sisanya adalah anggota KNIL (Koninklijk Nederlandsche Indische Leger). Mereka terdiri dari 3 kelompok pasukan (19 batalyon) :
(a) OVW (Oorlogsvrij Willigers), dibagi menjadi dua divisi yaitu divisi A dan B
(b) EM (Expeditionnaire Macht), dibagi menjadi tiga divisi yaitu : C, D dan E.
(c) ZIB (Zelfstandige Infantarie Brigades), yang dipecah menjadi tiga brigade : F, G dan H
Komando tertinggi Belanda pada agresi ini adalah Letnan Jenderal Simon H. Spoor. Pihak Belanda tidak menganggap serangannya ke wilayah republik khususnya Jawa dan Sumatera adalah agresi militer tetapi sebatas aksi polisionil pada sasaran-sasaran yang sifatnya ekonomis, sehingga mereka menamakan operasinya sebagai Operasi “Produk”.
Berikut beberapa nama pimpinan Divisi dan Brigade dari pihak Belanda :
(a) Penguasaan DKI Jakarta, oleh Divisi E di bawah pimpinan Mayor Jenderal M. Durst Britt.
(b) Bandung dikuasai oleh Divisi B di bawah pimpinan Mayor Jenderal “Siem” de Waal. Divisi ini dipecah menjadi dua brigade yaitu brigade V pimpinan Kolonel Jan Meijer dan Brigade W pimpinan Letnan Kolonel van Gulik. Brigade V dan W kemudian meneruskan operasinya menuju Jawa Tengah melalui jalan yang berbeda (Brigade V melewati Sumedang dan Brigade W melewati Subang) dan mereka bertemu di Cirebon.
(c) Semarang sendiri dibawah pengawasan Brigade T (Tijger = Harimau) pimpinan Kolonel J. van Langen.
(d) Divisi A di bawah pimpinan Mayor Jenderal M.R. De Bruyne dari marinir bertugas merebut Jawa Timur. Unsur angkatan darat dari divisi ini diisi oleh Brigade X pimpinan Letnan Kolonel van der Meulen.
(e) Di Sumatera mereka dipecah menjadi tiga brigade. Brigade Z dibawah pimpinan Kolonel Piet Scholten di Medan, brigade U dibawah pimpinan Letnan Kolonel J.W. Sluyter di Padang dan brigade Y dibawah pimpinan Letnan Kolonel Mollinger bertugas di Palembang.
Pihak Republik Indonesia pun tidak tinggal diam menghadapi pasukan Belanda ini. Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Kepala Staf Jenderal Oerip Soemohardjo sebagai pimpinan Tentara Nasional Indonesia (istilah TNI resmi semenjak 5 Mei 1947) mempersiapkan dan mempertahankan kubu-kubu di sekitar kantong-kantong yang diduduki Belanda secara bergerilya.
Berikut beberapa nama pimpinan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang bertugas mempertahankan wilayahnya masing :
(a) Jawa Barat dipercayakan kepada Divisi I Siliwangi pimpinan Mayor Jenderal A.H. Nasution
(b) Jawa Tengah sebagai jantung Pulau Jawa dipertahankan oleh tiga Divisi yaitu : Divisi II Gunung Djati pimpinan Mayor Jenderal Gatot Subroto yang meliputi daerah Cirebon, Tegal dan Banyumas, Divisi III Diponegoro dibawah pimpinan Mayor Jenderal R. Susalit yang meliputi daerah Pekalongan, Kedu, Yogyakarta, Pemalang dan Kendal serta Divisi IV Panembahan Senopati yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Sutarto yang bertugas mengawal daerah Semarang, Solo dan Pacitan.
(c) Dan di Jawa Timur dikawal oleh 3 divisi pula. Divisi V Ronggolawe dibawah Mayor Jenderal Djatikusumo yang bertugas di Pati, Bojonegoro dan Madiun, Divisi VI Narotama di bawah pimpinan Mayor Jenderal Sungkono yang bertugas mengawal daerah Kediri dan sekitarnya serta Divisi VII Suropati yang bertugas menjaga daerah Malang dan sekitarnya.
(d) Di Pulau Sumatera terdapat Divisi VIII Garuda yang mengawal daerah Palembang yang dipimpin oleh Kolonel Mauludin Simbolon, Divisi IX Banteng mempertahankan daerah Sumatera Tengah yang dipimpin oleh Kolonel Ismail Lengah dan Divisi X Gajah yang menjaga daerah Sumatera Utara dipimpin oleh Kolonel Hopman Sitompul.
Pasukan Belanda yang paling jauh menempuh daerah operasi dan paling cepat pergerakannya adalah dari Brigade V pimpinan Kolonel Jan Meier. Bermula dari Bandung (21 Juli) kemudian menuju Cicalangka, Sumedang, Tomo, Cirebon (25 Juli), Tegal, Slawi, Bumiayu kemudian berputar arah menuju Tuwel, Gunung Slamet, Bobotsari, Purbalingga (31 Juli), Sukaraja, lalu Brigade V dibagi 2, sebagian menuju kota pelabuhan Cilacap dan sebagian lagi menuju Yogyakarta sebagai target utama. Pergerakan Brigade V terhenti di Gombong pada tanggal 4 Agustus 1947, dan masih 130 km lagi dari kota Jogjakarta. Atas aksinya itu Kolonel Jan Meier mendapatkan penghargaan tertinggi militer Belanda.
Meski kalah dalam persenjataan, semangat juang Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan laskar-laskar rakyat tidaklah padam, walau dengan menggunakan taktik gerilya dan perang semesta semangat “merdeka atau mati” tertanam erat seluruh lapisan tentara maupun masyarakat. Nasution sendiri memerintahkan untuk menghindari bentrokan besar-besaran dengan tentara Belanda yang dari segi teknis lebih unggul. Dia memerintahkan kesatuan untuk mundur ke “daerah-daerah kantong”, sehingga mereka dapat menerapkan perang gerilya. Dan di aksi militer Belanda inilah persahabatan antara tentara dan masyarakat terjalin sangat erat dan dekat.
Seiringan dengan agresi Belanda itu, pemerintah Indonesia pun berjuang melalui jalur diplomatik. Mantan Perdana Menteri Bung Sjahrir berhasil lolos dari sergapan Belanda menuju Singapura pada tanggal 22 Juli 1947 dengan menggunakan pesawat “Biju Patnaik”, milik seorang temannya yang berasal dari Bengali. Keesokan harinya ia menuju New Delhi India untuk bertemu dengan Nehru mencari dukungan.
Ketika tiba di New Delhi, ia berkata dengan emosional kepada para wartawan bahwa ia dikirim oleh Presiden Soekarno dengan misi dunia untuk menghentikan perang kolonial di Indonesia. Ia pertama-tama datang ke India, “karena India negeri bersahabat dan Pandit Nehru adalah kawan saya”. Sjahrir juga berkata kepada pers, bahwa disamping Nehru, ia juga mengharapkan bertemu dengan Tuan Ali Jinnah dan mungkin Lord Killearn yang kini sedang berada di New Delhi.
Akan tetapi, ketika Sjahrir tiba di Delhi, tindakan Negara-negara besar belum kelihatan meskipun Nehru sendiri sehari sesudah penyerbuan Belanda mengatakan, “Semangat Asia Baru tidak akan membiarkan hal-hal demikian”. Keadaan yang tidak kondusif tersebut terjadi karena permintaan Inggris kepada Nehru berlangsung hampir satu minggu. Sjahrir terus melakukan pendekatan kepada Nehru.
Dengan ragu-ragu, sesudah menunggu seminggu dan sesudah Australia setuju bergabung dengannya, maka pada tanggal 30 Juli 1947, Nehru dengan dengan resmi meminta supaya aksi militer Belanda dimasukan ke dalam agenda Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)
Tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB bersidang dan menerima mosi bahwa Belanda dan Republik Indonesia diperingatkan untuk menghentikan tembak-menembak. Sidang cabinet Belanda berkumpul pada tanggal 4 Agustus 1947 di rumah Menteri Seberang Lautan, Jonkman (karena sedang menderita penyakit ‘erysipelas’), dengan mempertimbangankan bahwa sasaran yang diinginkan terutama perkebunan-perkebunan telah tercapai dan “sikap berniat baik” Belanda pada saat ini lebih penting daripada memenangkan wilayah di Jawa dan Sumatera. Hari itu juga melalui telepon diperintahkan kepada Gubernur Jenderal van Mook untuk menghentikan agresi militer.